
Ternate, Dewakipas – Rakyat Indonesia sudah merayakan HUT ke-80 Kemerdekaan RI dan semua daerah tentu sudah merasakan langsung pembangunan di segala sektor. Namun hal ini mungkin tidak berlaku bagi ribuan warga penghuni Pulau-pulau kecil di Provinsi Maluku Utara.
Bagaimana tidak, di tengah gemilangnya pertumbuhan ekonomi Provinsi Maluku Utara yang menembus 39,10 persen, justru tidak berdampak pada masyarakat di pulau-pulau kecil.
Mengurai Hambatan Pembangunan dan Ketimpangan Ekonomi di Pulau-pulau Kecil Maluku Utara
Pakar Ekonomi Dr. Mukhtar Adam mengatakan, kondisi geografis menjadi hambatan terbesar ketimpangan pembangunan di Maluku Utara, khususnya di pulau-pulau kecil berpenghuni. Kondisi ini menciptakan disparitas akses terhadap layanan dasar dan peluang ekonomi. Hal ini juga berdampak langsung pada tingginya biaya logistik dan transportasi, sehingga menghambat distribusi barang dan jasa serta mobilitas penduduk dan faktor produksi.
Masalah lain adalah keterbatasan infrastruktur. Yang ikut berpengaruh pada kemampuan daerah untuk memacu peningkatan produksi dan investasi. Kesenjangan infrastruktur juga terlihat dalam akses layanan pendidikan dan kesehatan yang tidak merata kualitasnya dibandingkan dengan pulau-pulau besar contohnya seperti pulau Halmahera.
Maluku Utara dengan penduduk 1,37 juta jiwa, sekitar 51 persen tersebar di 64 pulau kecil berpenghuni, sementara pertumbuhan ekonomi Maluku Utara bertumpuk di Halmahera. Akibatnya, manfaat pertumbuhan ekonomi tidak dinikmati oleh masyarakat di pulau-pulau kecil.
“Saat ini Halmahera menjadi titik tumpuk dari gerak ekonomi Maluku Utara. Tetapi 51 persen penduduk Maluku Utara ada di pulau-pulau kecil berpenghuni, itu sebabnya mereka tidak menikmati pertumbuhan ekonomi,” kata Mukhtar Adam, Selasa (9/12).
Permasalahan ini tidak terlepas dari ketimpangan spasial antara Halmahera dan pulau-pulau kecil. Dimana Halmahera menguasai sekitar 75 persen aktivitas ekonomi Maluku Utara, tapi memiliki kepadatan penduduk rendah. Sementara 64 pulau kecil, justru menghadapi stagnasi, produktivitas rendah, keterbatasan layanan publik, serta minimnya peluang kerja.
“Sehingga masyarakat di pulau kecil tidak memiliki akses ekonomi memadai untuk keluar dari lingkaran kemiskinan,” tambahnya.
Dinamika Angkatan Kerja Maluku Utara
Pertumbuhan industri pengolahan nikel di Halmahera, dinilai memang jadi motor baru perekonomian. Menyerap sekira 167 ribu tenaga kerja. Namun karakter industri padat modal, membuat sektor ini tidak inklusif terhadap tenaga kerja lokal berpendidikan menengah ke bawah. Banyak posisi strategis justru diisi angkatan kerja migran dari provinsi lain. Sehingga manfaat ekonomi tidak sepenuhnya dirasakan penduduk lokal.
Sementara itu, sektor pertanian, yang selama ini jadi sandaran utama masyarakat pedesaan, justru terkontraksi penurunan produktivitas. Dan mendorong migrasi tenaga kerja keluar sektor. Kondisi serupa juga, terjadi di sektor pemerintahan. Sementara perdagangan tetap jadi penopang, namun stagnan.
Sisi kualitas pendidikan tenaga kerja. Memang terjadi peningkatan untuk tiga tahun terakhir. Terutama bertambahnya tenaga kerja berpendidikan diploma ke atas. Namun peningkatan ini belum mampu mengejar kecepatan transformasi industri di Halmahera Tengah, Selatan, dan Halmahera Timur. Akibatnya, terjadi pasar kerja tak seimbang, antara kebutuhan industri dan kapasitas tenaga kerja lokal.
Strategi Ekonomi Inklusif
Pendekatan pembangunan harus memastikan pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat, mengurangi kesenjangan, dan menciptakan kesempatan yang adil. Arah pembangunan Maluku Utara saat ini dibutuhkan solusi-solusi baru yang lebih efektif dan memiliki jangkauan pemecahan masalah yang lebih besar. Salah satunya adalah dengan membangun Jalan Trans Kie Raha di pulau Halmahera, yang dinilai akan menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Trans Kie Raha menurut Mukhtar bukan sekadar konektivitas. Tetapi sebagai “Transformasi Memanusiakan Manusia”. Karena itu, dia merekomendasikan agar sepanjang ruas jalan tersebut diisi oleh peserta Transmigrasi Kie Raha atau Transmigrasi Lokal (Translok), yaitu perpindahan penduduk dari pulau-pulau kecil ke Halmahera.
Namun, konsep Translok yang ditawarkan Mukhtar Adam didasarkan pada kesadaran partisipasi publik yang tidak bersifat memaksa. “Itu yang mesti kita tawarkan ke publik, apakah dia mau bergantung di pulau kecil atau pindah ke Halmahera untuk jadi pemain ekonomi di sana, tapi pemerintah mesti menyediakan pilihan-pilihan itu, agar pertumbuhan ekonomi di Halmahera dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Maluku Utara,” katanya. (*)