
Ternate, Dewakipas – Diskusi publik yang digelar KAHMI Maluku Utara dua hari lalu bukan sekadar bertukar pendapat. Hal ini seolah menjadi bagian dari kompetisi strategis yang mempertemukan dua konsep besar, yakni konsep Trans Kieraha dan konsep Trans Maritim.
Nurdin Muhammad menyampaikan gagasannya tentang Trans Maritim. Sedangkan Mukhtar Adam membahas Trans Kieraha. Perang konsep antara Nurdin dan Mukhtar memanas, dipicu oleh kebijakan pemerintah provinsi Maluku Utara membangun jalan Trans Kieraha di pulau Halmahera.
Nurdin menilai kebijakan tersebut tidaklah tepat lantaran karakter georafis Maluku Utara adalah provinsi kepulauan. Ia lantas menawarkan konsep pembangunan Trans Maritim, sebuah konsep konektivitas laut yang memperkuat rute pelayaran antarpulau, pelabuhan penghubung, dan sistem logistik berbasis maritim.
“Kita provinsi kepulauan. Maka logis jika konektivitasnya bertumpu pada laut. Biayanya lebih rendah, implementasinya lebih cepat, dan manfaatnya langsung dirasakan masyarakat pesisir,” ujar Nurdin.
Mukhtar Adam membahas gagasan Trans Kieraha, yakni konsep konektivitas darat lintas Halmahera dan pulau-pulau besar lainnya. Menurutnya, pembangunan jalur darat merupakan syarat utama pemerataan ekonomi.
“Wilayah ini butuh keterhubungan darat yang solid. Tanpa itu, kita tidak akan pernah punya rantai ekonomi yang stabil di daratan,” tegas Mukhtar.
Ia menilai akses darat akan membuka pusat-pusat ekonomi baru, mengundang investasi, serta menurunkan biaya logistik di Pulau Halmahera yang selama ini masih bergantung pada jalur laut.
Halmahera sebagai titik tumpuk dari gerak ekonomi Maluku Utara, dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan justru tidak dinikmati oleh masyarakat pulau-pulau kecil. Karena itu, kata Mukhtar, pembangunan Trans Kieraha mesti dimaknai sebagai transformasi memanusiakan manusia.
Ia lantas merekomendasikan adanya kebijakan transmigrasi lokal (Translok), yaitu perpindahan penduduk dari pulau-pulau kecil ke Halmahera, agar ketimpangan ekonomi yang selama ini dirasakan oleh masyarakat pulau-pulau kecil bisa teratasi.
“Translok yang memanusiakan adalah kesadaran partisipatif publik yang tidak bersifat memaksa. Itu yang mesti kita tawarkan ke publik, apakah dia mau bergantung di pulau kecil atau pindah ke Halmahera, tapi pemerintah mesti menyediakan pilihan-pilihan itu,” pungkasnya. (*)