
Oleh: Wahyu S. Permana
(Eks Staf Bappeda Kota Ternate 2001 sd 2016)
Provinsi Maluku Utara, gugusan pulau yang kaya rempah dan biodiversitas, kembali dihadapkan pada dilema klasik: pembangunan infrastruktur versus kelestarian lingkungan. Rencana pembangunan Jalan Trans Kieraha, yang bertujuan menghubungkan wilayah di Halmahera, menuai polemik tajam bukan hanya di kalangan akademisi dan aktivis lingkungan, tetapi juga di tengah masyarakat. Polemik ini bukan sekadar perdebatan antara “pro-kemajuan” dan “pro-lingkungan”, melainkan menyoroti sebuah masalah mendasar yang sering diabaikan: perencanaan pembangunan yang tidak berbasis data dan analisis geospasial yang komprehensif.
Di era di mana teknologi pemetaan dan analisis spasial sudah sangat maju, rencana strategis seperti pembangunan jalan seharusnya lahir dari meja perencana yang dipenuhi data akurat. Data tutupan lahan, lereng, jenis tanah, kawasan hutan lindung, daerah resapan air, sebaran keanekaragaman hayati, hingga kerentanan bencana (seperti longsor dan banjir) harus menjadi fondasi utama. Sayangnya, dari berbagai pernyataan pakar dan temuan lapangan, perencanaan Jalan Trans Kieraha diduga kuat lebih banyak berbasis pada ambisi politik dan hitungan ekonomi makro semata, mengabaikan landscape ecology dan daya dukung ekosistem setempat.
Mengapa Basis Geospasial Itu Krusial?
Pulau Halmahera, jantung dari rencana jalan ini, memiliki topografi yang kompleks; perbukitan, hutan tropis yang masih utuh, dan ekosistem karst. Membangun jalan tanpa analisis geospasial yang mendalam ibarat membangun dengan mata tertutup. Dampaknya bisa multifold:
1. Bencana Ekologis: Pembukaan jalan di lereng curam atau kawasan karst dapat memicu erosi masif, sedimentasi ke sungai dan laut, serta kerusakan mata air. Bencana tanah longsor dan banjir bandang menjadi ancaman nyata yang akan mengancam keselamatan warga di hilir, bukan hanya pengguna jalan.
2. Fragmentasi Habitat: Jalan yang membelah hutan primer akan memotong koridor satwa liar, mengisolasi populasi, dan mempercepat kepunahan spesies endemik Maluku Utara yang sudah terancam, seperti Burung Bidadari Halmahera dan berbagai jenis kuskus.
3. Konflik Tenurial: Tanpa peta partisipatif yang melibatkan masyarakat adat dan lokal, pembangunan berisiko tinggi mengabaikan hak ulayat dan lahan garapan warga. Ini berpotensi memicu konflik sosial yang berkepanjangan, jauh melampaui masa pembangunan.
4. Pemborosan Anggaran: Jalan yang dibangun di medan salah tanpa kajian matang berisiko tinggi mengalami kerusakan struktural cepat. Biaya perbaikan dan pemeliharaan akan membebani APBD secara terus-menerus, sebuah pemborosan uang rakyat.
Suara Publik dan Akademisi: Bukan Menolak, tapi Meminta Perencanaan yang Bertanggung Jawab
Penting untuk ditekankan bahwa penolakan dari berbagai pihak bukanlah penolakan terhadap pembangunan itu sendiri. Masyarakat Maluku Utara tentu menginginkan konektivitas dan pemerataan ekonomi. Yang dituntut adalah pembangunan yang cerdas, berkelanjutan, dan bertanggung jawab. Akademisi dan LSM lingkungan telah berulang kali menawarkan metodologi, data awal, dan pandangan kritis sebagai bentuk partisipasi konstruktif. Sayangnya, sering kali masukan ini dianggap sebagai penghambat, bukan penyempurna.
Publik, melalui media sosial dan diskusi komunitas, juga semakin kritis. Mereka menyadari bahwa kerusakan alam akibat kebijakan yang gegabah akan langsung mereka rasakan: sumber air yang berkurang, hasil kebun yang turun karena polusi dan erosi, serta ancaman bencana. Mereka meminta transparansi: “Tunjukkan kepada kami peta analisis risiko lingkungannya! Di mana rute pasti yang diusulkan? Apa alternatifnya?”
Jalan Keluar: Moratorium, Kajian Komprehensif, dan Partisipasi Publik
Pemerintah Provinsi Maluku Utara perlu mengambil langkah bijak:
1. Moratorium dan Kajian Ulang: Hentikan sementara semua proses perencanaan teknis. Lakukan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) berbasis data geospasial mutakhir yang melibatkan pakar independen terpercaya.
2. Transparansi Data: Buka peta rencana tata ruang wilayah (RTRW), peta kawasan hutan, dan analisis geospasial yang digunakan untuk perencanaan kepada publik. Diskusikan secara terbuka.
3. Partisipasi Substansif: Libatkan masyarakat adat, tokoh masyarakat, dan akademisi dari awal dalam proses penentuan rute, bukan sekadar sosialisasi rencana yang sudah jadi.
4. Eksplorasi Alternatif: Pertimbangkan moda transportasi lain yang lebih ramah lingkungan untuk konektivitas antarpemukiman terpencil, seperti transportasi air atau jalan setapak yang ditingkatkan, sambil tetap menjaga kelestarian hutan.
Pembangunan Jalan Trans Kieraha bisa menjadi landmark kemajuan Maluku Utara, tetapi juga bisa menjadi monumen kesalahan perencanaan yang abai terhadap alam. Pilihan ada di tangan pemegang kebijakan. Membangun tanpa peta yang jelas adalah sebuah petualangan yang berisiko, dan rakyat Maluku Utara tidak boleh dijadikan kelinci percobaan. Saatnya membangun bukan dengan semangat membabat, tetapi dengan naluri merawat. Karena masa depan Maluku Utara tidak hanya diukur oleh panjang jalan aspal, tetapi oleh keberlanjutan kehidupan di atas dan di sekitarnya.