
Oleh: Andre Sudin
Hari ini tepatnya 10 November 2025, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan yang digelar serentak di berbagai instansi dan sekolah di Indonesia. Peringatan ini menjadi simbol untuk bangsa ini mengenang keberanian mereka yang gugur demi kemerdekaan.
Berdasarkan data dari Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, Kesetiakawanan, dan Restorasi Sosial (K2KRS) Kementerian Sosial. Total Pahlawan Nasional hingga pada tahun 2023, tercatat sebanyak 206 orang, dengan rincian 190 pria dan 16 wanita.
Dari angka tersebut, terdapat lima sosok guru yang diakui sebagai Pahlawan Nasional. Yakni, Jenderal Soedirman, Ki Hajar Dewantara, KH Ahmad Dahlan, Raden Dewi Sartika, dan Raden Ajeng Kartini. Ke lima guru ini memiliki kontribusi dan dedikasi yang sangat besar dalam mendidik generasi muda di Indonesia. Tak hanya itu, mereka juga ikut berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, Hari Pahlawan Nasional bukan hanya tentang mengenang mereka yang gugur di masa lalu, tapi juga tentang menghargai dan meneladani semangat perjuangan mereka di masa kini. Yaitu dengan memberikan perhatian terhadap kesejahteraan guru yang kita sebutnya sebagai “Pahlawan tanpa tanda jasa”.
Hari Pahlawan harus menjadi momentum evaluasi pemerintah Indonesia khususnya pemerintah Provinsi Maluku Utara mengenai kesejahteraan guru di daerahnya. Sebab, kondisi kesejahteraan guru di provinsi kepulauan ini masih sangat minim. Kondisi tersebut, sering kali memicu perdebatan di kalangan aktivis dan akademisi.
Pengamat Ekonomi Maluku Utara, Dr. Mukhtar Adam, menilai pemerintah Provinsi Maluku Utara gagal menempatkan prioritas anggaran secara adil. Ia menyoroti ketimpangan dalam pengelolaan fiskal, di mana hak guru tertunda berbulan-bulan, sementara gaji pejabat dan anggota dewan selalu dibayarkan tepat waktu.
Kondisi tersebut, menunjukan bahwa pemerintah Provinsi Maluku Utara belum sepenuhnya berpihak pada kesejahteraan guru. Padahal, peran guru sangat berarti dalam membangun generasi yang cerdas dan berkualitas. Sayangnya, guru sering kali tidak mendapat posisi yang mulia di mata pemerintah.
Di negeri yang penuh dengan industri tambang nikel, tersimpan ironi yang memilukan, para guru harus mengajar di tengah masalah ekonomi yang mengganggu fokus dan martabatnya. Walau demikian, mereka tetap menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai seorang guru yang profesional.
Ironisnya, pemerintah membangun proyek raksasa jalan Trans Kie Raha di Halmahera yang menghabiskan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) puluhan miliar rupiah. Ketimbang membayar hak-hak guru di pelosok-pelosok desa yang berjuang mendidik, membimbing, dan membekali siswa dengan pengetahuan serta karakter demi masa depan bangsa.
Mengutip ungkapan Anies Baswedan, Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, bahwa kemajuan pendidikan Indonesia harus diawali dengan peningkatan kesejahteraan guru. Ia menekankan perlunya pendapatan yang cukup bagi para pendidik agar dapat mengajar dengan tenang dan fokus.
Sebaliknya, jika kesejahteraan guru terabaikan maka guru tidak akan optimal memberikan teladan akibat menghadapi kesulitan ekonomi. Maka dari itu, kesejahteraan guru adalah fondasi penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Tanpa guru, arah pembangunan nasional yang kini dijalankan melalui Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, yang meliputi peningkatan pendidikan, hanya menjadi goresan tinta di atas kertas.(*)