
Ternate, Dewa Kipas – Salah satu ahli Ikatan Fungsional Pengadaan Indonesia (IFPI) Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) Maluku Utara (Malut) yang tidak mau namanya disebutkan dalam pemberitaan ini, angkat bicara terkait kebijakan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Malut dalam renovasi rumah dinas Gubernur Sherly Tjoanda menggunakan sistem swakelola dengan anggaran sebesar Rp 8,9 miliar.
Berdasarkan analisis terhadap surat tanggapan dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 5270/D.4/03/2025 tertanggal 06 Maret 2025, mengemukakan kritik dan tinjauan atas rekomendasi yang diberikan, dari perspektif seorang ahli pengadaan.
Menurutnya, Secara keseluruhan, rekomendasi LKPP dapat dinilai benar dan hati-hati, namun terdapat beberapa aspek yang layak dikritisi lebih lanjut atau memerlukan penekanan khusus dalam implementasinya.
Maka Ada lima aspek positif dan rekomendasi yang tepat dari LKPP, yang pertama adalah, Kepatuhan pada regulasi LKPP secara konsisten menekankan pentingnya kepatuhan pada Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 beserta perubahannya (Perpres 16/2018) dan peraturan turunannya, termasuk Peraturan LKPP Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pedoman Swakelola. Ini adalah landasan fundamental yang tidak bisa ditawar.
Kedua, Penekanan pada standar K3L, LKPP sangat tepat dalam menyoroti kewajiban pemenuhan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan (K3L) dalam penyelenggaraan jasa konstruksi, merujuk pada UU No. 6 Tahun 2023, UU No. 2 Tahun 2017, dan PP No. 22 Tahun 2020: 13, 17, 19, 21, 23, 24, 55]. Hal ini krusial untuk mencegah kegagalan bangunan.
Ketiga, Kewajiban Identifikasi Kebutuhan yang Komprehensif: Rekomendasi agar Dinas PUPR Provinsi Maluku Utara melakukan identifikasi kebutuhan ulang dengan memperhatikan standar K3L sangat penting[cite.
Keempat, Saran Konsultasi ke Kementerian PUPR dan APIP, Ini adalah poin paling krusial dan sangat tepat dari LKPP. Mengingat nilai pagu pekerjaan konstruksi yang signifikan (Rp 8.954.900.000,-) dan klasifikasi.
“Pekerjaan Konstruksi Sederhana dengan tingkat kerusakan ringan oleh Dinas PUPR, saran untuk berkonsultasi lebih lanjut dengan Kementerian Pekerjaan Umum (terkait Permen PUPR No. 06 Tahun 2021 yang menyatakan seluruh sub sektor Jasa Konstruksi tergolong “Risiko Menengah Tinggi”) serta melibatkan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Inspektorat adalah langkah mitigasi risiko yang sangat bijaksana” Jelasnya, Rabu (29/10/2025).
Kelima menurut dia, Kaidah Penggunaan Tenaga Ahli dalam Swakelola Tipe I: Penjelasan mengenai batasan jumlah tenaga ahli/teknis tidak melebihi 50% dari jumlah anggota Penyelenggara Swakelola sudah sesuai dengan ketentuan.
Sementara dalam aspek yang layak dikritisi atau memerlukan penekanan lebih lanjut, ia mengungkapkan terkait kesesuaian swakelola tipe I untuk proyek bernilai besar dengan Klaim Sederhana.
Meskipun Dinas PUPR mengklaim pekerjaan ini “sederhana” Namun nilai pagu hampir Rp 9 Miliar untuk konstruksi menimbulkan pertanyaan apakah Swakelola Tipe I adalah metode yang paling efisien dan efektif. Tujuan Swakelola antara lain adalah memenuhi kebutuhan barang/jasa yang tidak disediakan atau tidak diminati pelaku usaha, atau optimalisasi sumber daya internal. Proyek dengan nilai sebesar ini umumnya diminati oleh penyedia jasa konstruksi.
Kapasitas nyata Dinas PUPR, LKPP menyebutkan swakelola tipe I dapat dilaksanakan selama Dinas PUPR memiliki kemampuan teknis baik SDM maupun alat. Ini adalah syarat mutlak. Namun, seringkali klaim kemampuan ini perlu diuji secara objektif.
“Keterlibatan Tim Jasa Konstruksi Universitas Khairun Ternate dalam identifikasi kebutuhan tidak secara otomatis berarti Dinas PUPR memiliki kapasitas penuh untuk pelaksanaan konstruksi fisik berskala besar” bebernya.
Ia juga menambahkan jika Risiko Medium-High versus Klaim Sederhana memiliki kontradiksi antara klaim Dinas PUPR dan klasifikasi risiko dari Kementerian PUPR adalah bendera merah.
“Jika memang risiko sesungguhnya adalah menengah-tinggi, pelaksanaan oleh pelaku usaha yang memiliki izin NIB dan Sertifikat Standar (SBU/SKK) melalui mekanisme tender/seleksi,” tandasnya.
Sumber Dewa Kipas di Pokja BPBJ Malut menekankan bahwa Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) harus direviu oleh Biro Pengadaan Barang/Jasa sebelum Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait mengeksekusi kegiatan pekerjaan.
“Seluruh OPD kami sudah reviu termasuk PU. Cuma yang swakelola itu tidak ditawarkan untuk kami mereviu termasuk beberapa proyek yang menggunakan e-katalog. Tujuan daripada mereviu itu selanjutnya kami berikan masukan ke PPK, tapi untuk swakelola tidak pernah masuk kepada portal UKPBJ, berarti ada unsur sengaja,” kata sumber tersebut, Rabu (29/10).
Dia menegaskan apapun tipe proyek swakelola, tetap tidak bisa dikerjakan oleh pihak ketiga dalam hal ini kontraktor. Sebab dalam pelaksanaan pekerjaan swakelola, harus dikerjakan oleh pegawai dinas terkait dan kelompok masyarakat.
“Kalau mereka tetapkan swakelola itu adalah pegawai negeri sipil yang bekerja, maka pada saat itu juga pegawai yang bekerja pada proyek itu harus mengajukan cuti diluar tanggungan negara. Apakah ini dilakukan oleh PU?” tegasnya.
Lebih jauh, ia menambahkan bahwa swakelola umumnya diterapkan pada kegiatan yang bersifat padat karya, yang sifatnya renovasi atau perbaikan. Dalam ketentuannya, tidak boleh merubah bentuk dan ukuran bangunan.
“Sekarang buktinya apa, kamar mandi Gubernur di rubah kasih besar, itu tidak boleh, dalam ketentuan tidak boleh merubah,” tegasnya. (*)