
Ternate – Maluku Utara yang dahulu dikenal dengan laut biru dan hamparan pulau hijau, kini berubah menjadi panggung tarik-menarik kepentingan: negara, korporasi, dan masyarakat adat yang tanahnya tergerus buldoser.
Dugaan aktivitas pertambangan nikel ilegal di Maluku Utara diduga kian masif dan mengancam lingkungan serta mata pencaharian masyarakat setempat. Lihat saja, aktivitas penambangan nikel yang berlangsung di pulau Gebe, Halmahera Tengah.
Pulau Kecil di Ujung Tanduk
Pulau Gebe, dengan luas daratan hanya sekitar 145 kilometer persegi, secara hukum dikategorikan sebagai pulau kecil yang dilindungi ketat oleh UU Nomor 1 Tahun 2014 yang merupakan perubahan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. UU ini secara eksplisit, dalam Pasal 20, melarang penambangan terbuka di pulau kecil kecuali dengan teknologi yang tidak menyebabkan kerusakan.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023 kemudian memperkuat kebijakan pelarangan aktivitas tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil.
“Sebagai pulau kecil, penerbitan izin apapun wajib memperoleh rekomendasi teknis dari KKP. Rekomendasi ini penting untuk memastikan aktivitas tidak mengganggu kelestarian ekosistem pesisir dan laut di sekitar pulau. Fakta di lapangan menunjukkan tidak satu pun IUP yang memiliki rekomendasi ini, menjadikan izin yang diterbitkan cacat hukum secara formil,” ungkap Ketua PSMP Maluku Utara, Mudasir Ishak, Selasa (28/10).
Mudasir menmbahkan sebagian besar perusahaan yang beroperasi di pulau ini tidak masuk kategori Clean and Clear (CnC), bahkan tidak melewati mekanisme lelang wilayah pertambangan sebagaimana diwajibkan undang-undang Minerba.
Lantas, Mengapa Tambang Ilegal Ini Sulit Diberantas?
Mudasir menilai aktivitas pertambangan ilegal di pulau Gebe merupakan masalah struktural yang telah berlangsung cukup lama dan cenderung dibiarkan begitu saja.
“Saya kira ini masalah pembiaran, harusnya tambang yang izinnya belum ‘clear’ tidak boleh dibiarkan beraktivitas,” ujarnya.
Ia mengatakan, Praktik penambangan ilegal berlangsung tertutup, terstruktur, dan sering kali dilindungi jaringan kuat. Modusnya ialah eksploitasi di luar wilayah konsesi resmi. Ini kerap dilakukan secara diam-diam. Lalu, mengekstraksi dalam volume besar di waktu-waktu tertentu.
“Ada dugaan kuat bahwa penambangan ilegal bisa berlangsung karena dibekingi oleh oknum. Mereka ini saling terkoneksi, antara para pekerja di pangan dan aktor yang tidak terlibat langsung,” katanya.
Namun, pihaknya tetap memberikan apresiasi atas langkah-langkah penindakan yang dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto. Seperti operasi terbaru yang dilakukan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).
Kendati demikian, upaya pemberantasan dinilai belum maksimal. Ini karena Satgas PKH bentukan Prabowo itu, belum menindak satu pun perusahaan tambang yang beroperasi di pulau Gebe.
“Presiden harus segera perintahkan Kementerian terkait seperti ESDM, Kehutanan, dan KKP untuk tindak perusahaan yang beroperasi di pulau Gebe, termasuk oknum-oknum yang membekingi aktivitas perusahaan,” tutup Mudasir (*)