
Ternate, Dewa Kipas – Doktor Nurlaela Syarif, Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Kota Ternate, menanggapi komentar praktisi hukum Maluku Utara, Rahim Yasin.
Sebelumnya praktisi hukum ini, mengimbau agar wakil rakyat atau anggota DPRD, mengundurkan diri secara sukarela dari posisinya di Kepengurusan KONI Maluku Utara, dengan menggunakan sandaran UU MD3.
Menurut srikandi NasDem Kota Ternate tiga periode ini, sangat disayangkan praktisi hukum dalam pemahaman aturan perundangan-undangan soal rangkap jabatan, pada kepengurusan KONI Malut periode 2025-2029, karena label anggota dewan dimana indikasinya tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan sebagai lembaga wakil rakyat.
“Perlu saya jelaskan pertama praktisi hukum kutip aturan MD3 saja sudah keliru, mengunakan sandaran UU nomor 17 Tahun 2014, padahal sudah terjadi perubahan ketiga yaitu UU nomor 13 tahun 2019, ini kekacauan legal standing,” ujar Nurlaela kepada wartawan, Senin 3 November 2025.
“Yang kedua soal ada frasa larangan menjabat dalam kepengurusan KONI Malut, yang di pakai oleh praktisi hukum dengan dalil UU dan tata tertib (tatib) DPRD,”
Nurlaela Syarif keras menyampaikan bahwa praktisi hukum ini perlu kuliah hukum kembali, karena terjadi kedangkalan pemahaman regulasi.
“Saya sangat miris soal komentar praktisi hukum, perlu saya jelaskan bahwa dalam tata tertib DPRD, soal rangkap jabatan itu spesifik disebutkan untuk spesifikasi seperti, jabatan BUMD/BUMN, pengacara, direktur perusahaan, direktur lembaga atau yayasan. KONI itu organisasi kemasyarakatan di bidang olahraga, tidak ada kaitannya dengan jabatan DPRD,” tegas Nela sapaan akrab Nurlaela Syarif.
Ia kembali menegaskan jangan karena Jabatan Ketua KONI Malut melekat pada Wakil Gubernur yaitu K.H Sarbin Sehe, kemudian dibuat isu yang tidak objektif, mental begini tidak mau berikan kesempatan olahraga Maluku Utara, untuk melahirkan prestasi atlet-atlet.
Perlu dipahami sandaran regulasi UU nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan Nasional sudah menghapus kalimat larangan pejabat publik menjadi pengurus organisasi KONI, dimana sebelumnya ada di UU Nomor 3 Tahun 2005.
“Ketua atau pengurus KONI semenjak UU (11/2022) tentang olahraga nasional, bisa melekat pada jabatan kepala daerah atau anggota DPRD, dan Anggota Partai Politik. Seperti Djafar Umar, Jasman Abubakar. Ketua cabang olahraga (Cabor), Ishak Naser (catur) Nasri Abubakar (Pertina), Rahmi Husen (Possi), Alien Mus, bahkan Presiden RI bapak Prabowo juga Ketua Umum PB IPSI atau Pencak Silat, dan banyak lagi tidak pernah dipermasalahkan, kenapa Kiai Sarbin Sehe sekarang kebakaran jenggot,” tegasnya.
Menurutnya, jika Anggota DPRD masuk dalam kepengurusan KONI, justru ini sangat strategis karena bisa menjalankan fungsi pengawasannya dalam mengawasi alokasi anggaran hibah ke KONI, termasuk mengawasi pembinaan atlet dan fasilitas olahraga.
“Saya tegaskan mitra lembaga DPRD, dalam alat kelengkapan dewan (AKD) Komisi, juga membidangi soal olahraga, malah sangat strategis kalo jadi pengurus KONI dan ketua cabor, agar implementasi anggaran dan prestasi atlet dimaksimalkan,” ucap Nela.
Nela menyarankan, agar praktisi hukum memahami delegasi kewenangan UU MD3 mengenai penerapannya, sebab dalam penerapan UU tersebut lebih kepada level lembaga rakyat tingkat DPR/MPR RI, sementara untuk level Provinsi dan Kabupaten/Kota, mengacu kepada UU 23 Tahun 2014, tentang pemerintahan daerah.
“Saran kami, mohon dibaca secara benar, agar dipahami sebelum komentar, baca sebelum bicara, dan kritiklah dengan subtantif, jangan niatnya kritik malah jadi bumerang,” tutup Nela. (*)